Jakarta - Sebanyak 84 persen murid di
Indonesia mengalami kekerasan di sekolah. Demikian pernyataan sebuah kelompok
yang menangani seputar hak anak, Plan, dalam laporan dari gerakannya yang
berjudul Promoting Equality and Safety in Schools. Gerakan tersebut
mendapatkan angka yang disebut di atas setelah menyurvei lebih dari 9.000 siswa
di lima negara.
"Studi ini mengumpulkan data
dari murid yang berusia antara 12-17 tahun, lelaki dan perempuan, juga termasuk
orangtua, guru, dan kepala sekolah. Survei ini dilakukan di lima negara, yakni
Kamboja, Indonesia, Vietnam, Pakistan, dan Nepal. Hasil penelitian ini
menyimpulkan, tujuh dari 10 siswa di Asia pernah mengalami kekerasan di
sekolah," demikian dikutip dari laporan Time, Selasa (3/3).
Studi ini mengungkap beberapa efek
negatif dari kekerasan antarmurid. Diketahui, jenis kekerasan paling banyak
terjadi adalah kekerasan emosional, diikuti dengan kekerasan fisik. Untuk
kekerasan fisik, lebih banyak dialami oleh murid lelaki dibanding perempuan.
Secara keseluruhan, pandangan regresif (mundur) terhadap gender adalah
kontributor paling signifikan untuk kekerasan di sekolah. Dalam arti, cara
pandang atau tidak menghormati gender tertentu.
Indonesia menunjukkan jumlah
kekerasan di kalangan siswa dengan bias gender paling parah di antara
negara-negara lain. Dari penelitian terungkap, sekitar 84 persen siswa
responden di Indonesia pernah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh teman
sebayanya. Di peringkat kelima atau terbawah adalah Pakistan, dengan tingkat
persentase sebesar 43 persen. Meski menurut Direktur Regional Plan, Mark
Pierce, angka 43 persen itu pun masih tidak bisa diterima.
Situs Time yang menjelaskan
laporan ini juga menambahkan dua buah tayangan video kekerasan anak di
Indonesia. Salah satunya terjadi di sebuah SD di Sumatra Barat yang menunjukkan
seorang siswa lelaki memojokkan siswa perempuan di ruang kelas dan dipukul
berkali-kali. Video lain menunjukkan seorang siswa perempuan dicekik dan
dipukuli oleh teman-teman lelakinya. Kedua video ini sepertinya diambil oleh
murid seusia pelaku dan korban.
Menurut laporan Plan, kejadian
semacam ini kerap terulang karena ada masalah-masalah tertentu, seperti
kurangnya kepercayaan siswa dalam mekanisme pelaporan yang ada di sekolahnya,
norma-norma tradisional dan budaya yang membuat korban enggan melapor, serta
rendahnya tingkat intervensi pengawas sekolah. Hal-hal ini mengindikasikan
kurangnya keterlibatan orangtua dan figur otoritas di sekitar anak.
Penulis: Nadia Felicia/NAD