Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Serikat
Guru Jakarta (SEGI Jakarta) mengadakan diskusi dan konferensi pers di Kantor
LBH Jakarta untuk merilis CATAHU (Catatan Akhir Tahun) Pendidikan selama 2015,
Minggu (3/1).
“Kami mengapresiasi sikap pemerintah pusat (baca: Kemdikbud) dalam memandang dan
memperlakukan organisasi profesi guru selain PGRI. Untuk pertama kalinya dalam
sejarah negeri ini, pemerintah menyatakan secara terbuka pada perayaan HGN
(Hari Guru Nasional), bahwa seluruh organisasi profesi sama di mata pemerintah,
dan Kemdikbud akan mendorong seluruh organisasi profesi guru untuk bersinergi
membangun pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan di Republik ini,” ujar
Retno Listyarti, Sekjen FSGI.
“FSGI mencatat telah ada beberapa perbaikan kebijakan
pendidikan, seperti UN tidak lagi dipakai sebagai syarat kelulusan dan
mengembalikan penilaian kelulusan pada guru dan sekolah, juga Mendikbud Anies
telah mengeluarkan Permendikbud 23/2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang
mengarahkan siswa pada semangat cinta bangsa,” ujar Itje Chodidjah, Dewan
Pertimbangan FSGI. “Sayangnya masih ada praksis-praksis pendidikan yang kurang
pas karena kebijakan pendidikan ini belum terkoneksi satu sama lain,” lanjut Itje.
Berikut Catatan Akhir Tahun tentang Pendidikan hasil temuan dan analisis FSGI:
1.
Ujian Nasional (UN) : Pembocoran UN 2015 harus dituntaskan penyelesaian
hukumnya
Kebijakan Ujian nasional (UN) terkait dihapusnya UN
sebagai penentu kelulusan harus di apresiasi sebagai bentuk perwujudan janji
Jokowi ketika kampanye. “Namun, FSGI tetap mengkritisi karena tetap dijadikan
penentu masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Kebocoran UN SMA 2015 digoogle
drive tidak ada tindak
lanjut dan progres bagaimana penyelesaiannya juga tidak pernah diketahui publik,
“Semoga tidak di peties-kan, karena pembocoran rahasia negara ini sanksi
hukumnya sangat jelas dan terukur. Mendikbud harus memerintahkan pengusutan
tuntas dan hasil pengusutan dibuka ke publik,” ujar Itje.
Jika tidak pernah dituntaskan maka hal ini akan menjadi
preseden buruk dan para pembocor tidak akan mendapatkan efek jera.
Sebagaimana diketahui, Badan Standar Nasional Pendidikan
telah mengeluarkan Peraturan BSNP Nomor 0035/P/BSNP/IX/2015
tentang Kisi-Kisi Soal UN atau Ujian Nasional
tahun 2015/2016. Kisi-kisi Soal UN atau Ujian Nasional yang
telah dirilis BSNP terdiri dari Kisi-kisi soal UN 2015/2016 atau
Ujian Nasional untuk SMP/MTs, Kisi-kisi Ujian Nasional atau
UN 2015/2016 untuk SMA/SMK/MA dan Sederajat, Kisi-kisi
Ujian Nasional atau UN 2015/2016 untuk Paket B dan C.
Sebagaimana diketahui materi Ujian Nasional(UN) 2015/2016 merupakan irisan Kurikulum 2006 (KTSP) dan Kurikulum
2013.
Rencana pemerintah untuk membuat soal UN tahun 2016
berdasarkan Kurikulum 2013 adalah keputusan yang tidak bijak. “Jika keputusan
tersebut benar dilaksanakan maka pemerintah telah berbuat tidak adil terhadap
jutaan peserta didik, karena yang menerapkan K13 hanya 6.5% sekolah, tetapi
93.5% sekolah yang menerapkan Kurikulum 2006 harus mengerjakan soal K13. Walau
ada irisan materi yang sama, tetapi pemerintah sudah melanggar hak peserta
didik kalau tetap melaksanakannya,” urai Itje
2.
Revisi Kurikulum 2013 : Bangun Komunikasi Publik
Revisi kurikulum sudah ada progress yang bagus,
meskipun belum memuaskan. Kompetensi Dasar (KD)
untuk Kompetensi Inti (KI) 1 dan KI 1 sudah dihapuskan kecuali pada mata pelajaran Agama
dan PPKn.
“Meski Kemdikbud sudah melibatkan publik dalam
perubahan K 13, namun sayangnya
prosesnya tidak terbuka. Sehingga perlu ada media komunikasi antara
kemdikbud dan publik, misalnya melalui website untuk melihat
progress tahapan revisi K13. Ini yang selama ini belum ada,” ujar Isti
Handayani, dewan pengurus FSGI.
Isti menambahkan, “ketika publik ingin
dilibatkan dalam memberikan masukan, maka seharusnya publik dapat melihat
dahulu perubahan dokumen yang direvisi, jadi buku jangan dicetak dahulu, tapi
kabarnya buku akan dicetak Januari 2016. Selain itu, ada keluhan sekolah bahwa secara teknis, mereka
yang masih melaksanakan Kurikulum 2006 kesulitan menemukan buku-buku pelajaran
di lapangan”.
3.
Uji Kompetensi Guru (UKG)
“UKG sebagai langkah awal boleh dipakai sebagai
kebijakan pengembangan guru, namun setelah itu pemerintah harus berani
mengembangkan profesi guru melalui penguatan dari bawah, seperti penguatan
supervisi dan pengembangan karir guru. Pendekatan yg sekarang top bottom dan
tidak bisa memotret keseluruhan kemampuan guru,” urai Itje Chodidjah.
Tawaran Mendikbud terhadap pelibatan publik
betul-betul direalisasikan, pada 16 Desember 2015 lalu, Mendikbud dan jajarannya menyambut baik
audiensi dengan FSGI terkait penyampaian pelaporan hasil pemantauan pelaksanaan
UKG 2015 dari posko pengaduan yang dibuka FSGI di 29 kota/kabupaten dari 12
propinsi. “Bahkan, Mendikbud mengapresiasi temuan dan rekomendasi UKG yang
disampaikan FSGI. Irjen Kemdikbud juga menyambut tawaran FSGI untuk bersinergi
melakukan pemantauan UN dan PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Dirjen GTK
juga melibatkan FSGI dalam melakukan studi analisis hasil UKG 2015 untuk guru
mata pelajaran PPKN jenjang SMA di Jakarta,” ujar Isti Handayani.
Dalam pemantauannya FSGI menemukan 9
permasalahan UKG, yaitu sebagai berikut
:
·
Pungutan antara
Rp 50.000-Rp 300.000;
·
Letak UKG Online
Jauh;
·
Salah Administrasi
(Mal-Administrasi): pendaftaran, perubahan jadwal, dan persiapan sarana UKG.
·
Masalah
Teknis : listrik padam
·
Pengabaian
Pembelajaran
·
Linearitas
Tingkat
·
Linearitas Bidang
·
Konstruk Tes
(bentuk item, jenis soal, dan model soal) :Inkonsistensi jenis soal-jawaban,
Tingkat kesulitan item soal, Isi Test
dan Referensi Item Soal.
·
Sistem Keamanan
Tes : joki, peserta bisa memoto soal dan soal dari buku bank soal cetakan penerbit
ternama.
4.
Penguatan Nilai Kebangsaan : Pendidikan Nasional berakar budaya bangsa
FSGI mengapresiasi keluarnya Permendikbud 23/2015
tentang penumbuhan budi pekerti, tujuannya baik yaitu untuk memperkuat
nilai-nilai kebangsaan, namun dalam implemnentasinya justru menjadi bersifat
seremoni dan ritual, karena kurang adanya sosialisasi dan panduan yang jelas,
sehingga sekolah banyak memiliki penafsiran berbeda satu sama lain. “ Misalnya,
kegiatan membaca buku 15 menit untuk memperkaya wawasan malah banyak
dipraktekan dengan membaca kitab suci sebelum pembelajaran dimulai. Prinsipnya
baca atau iqro. Sedangkan menyanyikan
lagu wajib nasional atau lagu daerah setiap hari sebelum dan sesudah
pembelajaran berakhir juga pada praktiknya sulit dilaksanakan. Hasil evaluasi
siswa menyatakan bahwa mereka malah menjadi jenuh. Perlu ada kebijakan lebih
lanjut agar penumbuhan budi pekerti efektif,” sambung Retno.
Retno menambahkan,” Penumbuhan budi pekerti
mestinya masuk ke substansi, bukan seremoni. Kita tunggu sinergi antara program
pendidikan dan kebudayaan di tahun 2016,
apalagi Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid adalah mantan aktivis yang sangat
mumpuni dibidangnya. Sejatinya, pendidikan nasional yang dikembangkan
seharusnya berakar budaya Indonesia. Budaya Indonesia plural, sehingga
keragaman adalah keniscayaan di negeri ini”.
Sepanjang
pemantauan FSGI, yang menyadari bahwa ada masalah intoleransi dan lunturnya
keragaman di sekolah-sekolah negeri justru bukan Kemdikbud maupun Dinas-dinas
Pendidikan, tetapi malah organisasi masyarakat sipil, seperti SETARA Insitute, Maarif Institute dan YCG
(Yayasan Cahaya Guru) yang rutin
menyelenggarakan pelatihan-pelatihan untuk guru dan siswa yang bertema
keragaman. Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan justru membuat program
pendidikan bela Negara yang rencananya akan dimasukan ke kurikulum sekolah
mulai jenjang TK sampai Perguruan Tinggi.
5. Kekerasan Dalam Pendidikan : Masih Marak Terjadi
Kasus-kasus
kekerasan dalam pendidikan sepanjang tahun 2015 juga tinggi. Pelaku tidak hanya
guru terhadap murid, tetapi juga murid dan orangtua terhadap guru, serta siswa
terhadap sesama siswa.
Walau
Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan dan instruksi
pemerintah untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap anak. Namun,
penerapan yang belum optimal membuat anak-anak Indonesia belum sepenuhnya
terlindungi.
Beberapa
contoh peraturan terkait hak anak ialah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perlindungan Anak, Instruksi Presiden No 5/2014 tentang Gerakan
Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak, dan UU No 11/2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak. “Namun, penerapan perangkat hukum itu masih terbentur
beragam kendala, seperti ketidaktahuan masyarakat dan kurangnya komitmen
pemerintah daerah,” ujar Retno.
Meski
ada peraturan mengenai perlindungan terhadap anak, namun kekerasan yang dialami
anak sepanjang 2015 tidak menurun bahkan cenderung semakin mengerikan.
Contohnya, peristiwa tewasnya siswa SD di Jakarta saat jam efektif di sekolah,
pengeroyokan siswa SD terhadap teman perempuannya yang terjadi di jam belajar di salah satu sekolah di Padang, atau
penyekapan dan penganiayaan terhadap seorang siswi SMA di Jogjakarta hanya
karena tato hello kitty, atau seorang siswa tega menebas lengan teman
sekolahnya karena dipicu kecemburuan di Surabaya, atau tawuran siswa SMA di
Jakarta yang merengut nyawa, dan masih banyak lagi.
“Fakta
tersebut menunjukan ada masalah dengan pendidikan di negeri ini, harus ada
revolusi mental di dunia pendidikan. Kita tunggu program gebrakan Kemdikbud
untuk merevolusi mental melalui pengembangan pendidikan karakter,” tegas Retno.
6. Pengakuan dan Kebebasan Berorganisasi
Pengakuan
resmi pemerintah terkait organisasi profesi guru disampaikan oleh Mendikbud Anies Baswedan
dalam sambutan pada peringatan “Hari Guru Nasional 2015” di Istora Senayan pada
24 November 2015. “Pernyataan tersebut merupakan angin segar bagi bertumbuh dan
berkembangnya berbagai organisasi profesi guru di Indonesia,” ujar Slamet
Maryanto, dewan pengurus SEGI Jakarta.
Slamet
menambahkan, “Untuk pertama kalinya dalam sejarah di Indonesia, peringatan HGN
tanpa batik PGRI, seluruh peserta, undangan dan para pejabat mengenakan dress
code putih hitam. “Bagi kami yang bukan anggota PGRI, perubahan ini sangat
mengharukan. Selama ini, anggota-anggota FSGI yang mengenakan batik FSGI di
sekolah saat perayaan HGN akan mendapat teguran dari atasannya, kami “diminta”
mengguakan batik PGRI, meski kami bukan anggota PGRI.”
Sayangnya,
sikap pemerintah pusat yang sudah memahami amanat UU 14/2005 tentang Guru dan
Dosen tidak dibarengi oleh kesadaran para birokrasi di berbagai daerah.
Politisasi guru dan upaya sistematis “membungkam” para guru kritis, berani dan
kreatif pun terus berlangsung. Para guru yang bukan PGRI pun kerap mendapatkan
perlakuan diskriminatif. Bahkan beberapa guru mengajukan upaya hukum ke
Pengadilan TUN (Tata Usaha Negara), seperti di Lampung, Medan, Jakarta dan
Bima.
Dalam
sambutan tertulis Presiden Jokowi pada HUT PGRI, 13 Desember 2015, pemerintah
berencana melakukan penataan terhahadap organisasi profesi guru. “FSGI
mendukung penataan organisasi profesi guru sesuai UU No 14/2005 tentang guru
dan dosen, salah satunya adalah menegakan pasal 1 butir (13) bahwa organisasi
profesi guru dibentuk dan diurus oleh guru. Hal ini penting, karena selama
pengurus organisasi profesi adalah birokrat di daerah seperti Kepala Dinas
Pendidikan dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, maka para guru rawan di
politisasi,” Tegas Slamet.
7.
Lainnya :
Linieritas kualifikasi akademik dalam kepangkatan guru
Kemendikbud telah mempublikasikan surat Edaran tentang Linieritas Kualifikasi Akademik Dalam
Kepangkatan Guru dengan nomor 134741/B.BI.3/HK/2015 tertanggal 14 Desember
2015 yang ditujukan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kepala Kantor
Regional BKN, dan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi/Kabupaten/Kota. “Kebijakan
ini patut diapresiasi karena selama ini, guru yang sudah puluhan tahun mengajar
mata pelajaran tertentu, sudah mumpuni, tetapi tidak linier dengan ijasah S-1
nya di haruskan kuliah lagi agar mendapat sertifikat pendidik,” urai Retno.
Ketentuan yang tertuang dalam surat edaran Dirjen GTK yang
diapresiasi FSGI adalah, “pertama, guru yang mengajar linier
dengan sertifikat pendidiknya, akan tetapi sertifikat pendidiknya tidak linier
dengan kualifikasi akademiknya, tidak dipersyaratkan untuk mengikuti pendidikan
S1 kedua yang linier dengan sertifikat pendidik yang dimilikinya.
Kedua, Bagi guru dalam jabatan yang
diangkat sebelum berlakunya Undang-Undang Nomo 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen, dapat mengikuti sertifikasi pendidik tanpa mempertimbangkan kesesuaian
antara/linieritas antara kualifikasi akademik yang dimiliki dengan mata
pelajaran/bidang tugas yang diampu, sepanjang guru yang bersangkutan mempunyai
pengalaman mengampu bidang/mata pelajaran tersebut paling sedikit 5 tahun. Hal
ini sangat membantu para guru,” pungkas Retno mengakhiri konfrensi pers siang
ini.
Jakarta,
3 Januari 2016
Contact Person :
- Retno Listyarti (Sekjen): 0822-98-44-45-46
- Itje Chodidjah (Dewan Pertimbangan): 0812-8616-9235