Sosok Retno Listyarti memang sederhana. Pembawaannya ramah. Namun di balik sosok yang terkesan ramah itu, tersimpan sebuah keberanian yang besar. Retno kini tengah berjuang melawan ketidakadilan terkait pencopotannya sebagai Kepala Sekolah SMA 3 Setiabudi, Jakarta Pusat oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta.
Retno dicopot lantaran dituding tidak menjalankan tugasnya sebagai pengawas ujian nasional. Ketika itu Retno dituding malah menghadiri sebuah acara yang diselenggarakan sebuah stasiun televisi.
Retno menilai tudingan itu mengada-ada. Acara yang dia hadiri, menurut Retno, berlangsung di pagi hari jauh sebelum ujian dimulai. Saat ujian mulai, Retno mengatakan, dia sudah berada lagi di lokasi dan menjalankan tugasnya dengan baik.
Merasa difitnah, Retno pun melayangkan gugatan atas Surat Keputusan (SK) pencopotannya itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Retno tampak antusias membicarakan soal gugatannya itu. Itu terlihat dari sorot mata yang tajam dan gaya bicaranya yang lugas dan tegas.
"Mengajukan gugatan ke PTUN bukan mencari menang atau kalah, saya hanya ingin menguji bahwa ini semua salah, agar menjadi pembelajaran bagi pemprov DKI untuk tidak sewenang-wenang. Harus ada yang berani melawan," kata Retno saat ditemui gresnews.com di sela-sela waktu mengajarnya di SMA Negeri 13, Jakarta Utara, beberapa waktu lalu.
Usai diberhentikan sebagai Kepsek SMA 3, Dinas Pendidikan DKI Jakarta mengembalikan posisinya menjadi guru di sekolah tersebut. Menurut wanita yang juga aktif sebagai Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) ini, pencopotan dirinya sebagai kepala sekolah penuh dengan kejanggalan.
Retno menduga, apa yang terjadi pada dirinya terkait dengan aktivitasnya selama ini sebagai aktivitis pendidikan selama kurang lebih 10 tahun lantang mengungkap berbagai praktik kecurangan Ujian Nasional. Padahal, kata Retno, lewat aktivitasnya itu, dia ingin menciptakan lingkungan sekolah yang bersih dari praktik-praktik korupsi pendidikan.
Menurut Retno, sebelum menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 3 Setiabudi, dirinya diberi kepercayaan menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMA 76. Di saat itulah Retno menemukan adanya praktik-praktik korupsi dan pemborosan terkait dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Menurutnya uang daerah melalui APBD dan APBN bantuan pendidikan melalui dana BOS atau BOP sudah lebih dari cukup untuk membiayai pendidikan di sekolah tanpa membebani murid-murid lagi melalui pungutan atau iuran sekolah.
"Pada saat itu sebagai kepala sekolah bertanya-tanya kenapa dana bantuan operasional pendidikan yang jumlah nya Rp400ribu perbulan per anak jika dikalikan seribu murid tentunya akan sangat besar atau lebih karena dalam setahun. Dana BOS itu kurang lebih Rp1 juta per anak per tahun, maka itu lebih dari cukup untuk membiayai operasional sekolah tanpa harus memungut iuran sekolah lagi," kata Retno.
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka saat itu dirinya sebagai kepala sekolah SMA 76 meniadakan pungutan-pungutan kepada murid-murid atau ´zero pungutan´. "Semua dibayari oleh sekolah termasuk uang renang dan atletik. Duit sekolah banyak sekali di akhir tahun saya malah surplus Rp400juta," tambah Retno.
Menyadari hal tersebut, Retno mulai membongkar adanya praktik "upeti-upeti" yang menyebabkan pemborosan dana sekolah melalui dana BOS atau BOP tersebut. "Waktu itu ada dana BOS sebesar 6 persen yang harus disetor, ada namanya musyawarah kerja kepala sekolah (MKKS). Mungkin nanti disebut saja ada upeti-upeti yang disetor secara sistematis. Pola itu yang coba saya hancurkan, termasuk bagaimana uang per siswa," katanya.
"BOP itu ada setoran, termasuk untuk ujian Rp16 ribu per sekolah dan laporan inilah yang menjadi cikal bakal saya dimusuhi banyak orang," tambahnya.
Di situlah, kata Retno, mulai terjadi teror-teror kepadanya secara bertubi-tubi. "Itu sebagai upaya untuk menekan saya, seperti ban mobil dikempesin sampai mobil ditabrak, hingga akhirnya saya dicopot sebagai kepala sekolah. Saya pikir itu semua risiko perjuangan," tegas Retno.
Perihal pencopotan dirinya sebagai Kepala Sekolah SMA 3 Setiabudi menurutnya tidak didasari pada aturan tetapi hanya berdasar pada balas dendam atas upayanya menciptakan lingkungan pendidikan yang bersih dari praktik korupsi.
"Hanya satu niatan saya saat hadir dalam acara talkshow tersebut, memberitahu kepada Anis Baswedan (Menteri Pendikan-red)mengenai adanya kebocoran pada google drive membuat hasil UN tidak valid kalau hasil UN tidak valid tapi tetap digunakan sebagai patokan untuk masuk ke perguruan tinggi itu namanya tidak adil untuk itu saya meminta untuk tidak dipergunakan saja. Itu niat saya untuk bertemu Anis, untuk menyelamatkan anak-anak yang akan menjalani UN,"kata Retno.
Upaya pencopotan dirinya sebagai kepala sekolah menurutnya telah cacat hukum. Pasalnya, kepala dinas pendidikan menurutnya telah mencampuradukkan persoalan disiplin pegawai negeri dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 untuk dijadikan dasar pencopotan dirinya sebagai kepala sekolah.
"Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 pegawai negeri itu 5 hari tidak masuk berturut-turut tanpa alasan yang jelas itu hukumannya hanya teguran. Saya itu masuk hari itu. Pagi absensi saya tidak izin pada hari itu. Dalam PP 53 Pasal 10 tahun 2010, seseorang itu dipecat kalau tidak masuk selama 46 hari, baru bisa dipecat. Saya itu satu hari saja nggak. Saya melanggar undang-undang yang mana? Saya melanggar peraturan yang mana?" tegas Retno.
Dia mengatakan, sepanjang 18 tahun menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak pernah dihukum. "Kemarin itu saya dicopot bukan dihukum," keluhnya.
Retno pun menambahkan tidak tertutup kemungkinan dirinya akan kembali menghadapi sanksi lain berupa pemecatan sebagai tenaga pengajar terkait gugatan yang dilakukan di PTUN itu. "Tetapi kalau sampai dipecat dengan tidak hormat saya akan kembali menggugat. Dicopot saja saya menggugat apalagi dipecat. Saya akan bongkar apa yang lebih banyak apa yang saya tahu," tegasnya.
"Saya akan jauh lebih berani berteriak. Selama ini banyak hal yang saya tahan. Saya banyak sekali tahu sebagai orang dalam dunia pendidikan. Banyak sekali," pungkas Retno. (Gresnews.com/Edy Susanto)