Belum selesai keterkejutan publik terhadap para guru
yang dikriminalkan orangtua siswa karena dinilai telah melakukan kekerasan
terhadap anak mereka, kini kita dikejutkan oleh kasus Dasrul. Guru Arsitektur
di SMKN 2 Makassar, Sulawesi Selatan, yang dianiaya orangtua murid karena
diduga menampar anaknya. Baik Dasrul maupun orangtua siswa yang menganiaya
kemudian saling membuat pelaporan ke polisi.
Banyaknya kasus guru yang "dikriminalkan"
orangtua menunjukkan bahwa hubungan antara sekolah dan orangtua tidak harmonis.
Ketidakharmonisan itu membuat sejumlah persoalan di sekolah sulit diselesaikan
secara damai.
Kasus di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menimpa
Samhudi-guru olahraga di SMP Raden Rahmat, Balongbendo-yang telah divonis
bersalah dengan hukuman tiga bulan penjara oleh PN Sidoarjo; kasus di
Bantaeng, Sulawesi Selatan, yang menimpa Nurmayani-guru Biologi SMP Negeri 1
Bantaeng-yang sempat masuk rumah tahanan karena mencubit muridnya; dan kasus di
Makassar ini justru menambah lebar ketidakharmonisan hubungan antara sekolah
dan orangtua siswa.
Sejak lahirnya UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak
(UU PA) dan diperkuat Permendikbud No 82/2015 tentang Sekolah yang Aman dan
Nyaman, kekerasan di pendidikan dalam bentuk dan tujuan apa pun tidak
diperkenankan lagi. Kita semua sepakat menolak segala bentuk kekerasan di
pendidikan. Akan tetapi, melaporkan guru ke polisi, apalagi menganiaya guru,
adalah tindakan berlebihan dan tak patut dilakukan orangtua siswa.
Guru juga harus memahami UU PA dan menyadari bahwa
zaman sudah berubah. Kekerasan dalam bentuk dan tujuan apa pun dalam UU PA
masuk dalam pelanggaran pidana. Makna kekerasan dalam UU PA itu luas, bahkan
memaki pun termasuk kekerasan verbal.
Sejatinya, kalau anak tidak dapat dididik
oleh guru meski pihak sekolah sudah melakukan pembinaan berkali-kali, gunakan
mekanisme sesuai peraturan sekolah: kembalikan ke orangtuanya, bukan
memukulnya, mencubitnya, menampar, menjewer, dan bentuk kekerasan lainnya.
Dasar hukum perlindungan
Dasar hukum perlindungan guru dan tenaga kependidikan
di Indonesia terdapat dalam UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Penjabaran pelaksanaan perlindungan hukum bagi guru dan tenaga
kependidikan lainnya telah dituangkan dalam PP No 38/1992 tentang Tenaga
Kependidikan.
Di dalam peraturan pemerintah ini, perlindungan
terhadap tenaga kependidikan dimaksud meliputi perlindungan untuk rasa aman,
perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja, dan perlindungan terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja.
Berkaitan dengan perlindungan guru, secara tegas dalam
UU Sisdiknas terbaru (UU No 20/ 2003) pada Pasal 40 Ayat 1 Huruf d
disebutkan, "Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan
intelektual".
Sejalan dengan itu, Pasal 39 Ayat 1 UU No 14/2005
tentang Guru dan Dosen menyatakan, "Pemerintah, pemerintah daerah,
masyarakat, organisasi profesi, dan/atau satuan pendidikan wajib memberikan
perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas." Lebih lanjut,
Pasal 40 Ayat 1 PP No 74/2008 tentang Guru menyebutkan, "Guru berhak
mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dalam bentuk rasa aman dan
jaminan keselamatan dari pemerintah, pemerintah daerah, satuan pendidikan,
organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat sesuai dengan kewenangan
masing-masing."
Semua ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut
dengan gamblang memberikan perlindungan terhadap keprofesian guru saat
menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi)-nya. Namun, dua tahun terakhir
ini, banyak guru mengalami kriminalisasi. Sejumlah guru yang mengalami
kriminalisasi di antaranya Nurmayani, guru Biologi SMP Negeri 1 Bantaeng, dibui
di Rumah Tahanan Klas II Bantaeng karena diduga melakukan tindak kekerasan
dengan mencubit siswanya. Juga kasus Samhudi, guru Olahraga di SMP
Raden Rahmat, Balongbendo. Ratusan guru PGRI Jawa Timur berunjuk rasa di
pengadilan, meminta pihak pengadilan membatalkan sidang dan hukuman yang
menjerat Samhudi karena kasus dugaan penganiayaan dengan mencubit siswanya
lantaran siswa tak ikut agenda shalat Duha dan ketahuan sedang bermain di
sungai.
Ada juga kasus Purnawan, guru SDN di Purbalingga, Jawa
Tengah, yang saat ini kasusnya sedang bergulir di PN Purbalingga. Purnawan
didakwa melakukan kekerasan kepada siswanya saat sedang melakukan kegiatan
kerja bakti di sekolah, yaitu kakinya mengenai perut seorang siswa saat sedang
menginjak-injak sampah di tempat pembuangan sampah sekolah. Meski tidak
memiliki luka berarti dan tidak pula disengaja, orangtua siswa tetap melapor ke
polisi, padahal mereka ternyata bertetangga. Pemberitaan kasus ini hanya
di koran lokal Purbalingga.
Kasus teranyar adalah Dasrul, guru Arsitektur yang
mengusir siswa dari kelasnya karena yang bersangkutan tidak membawa alat
gambar. Siswa sempat mengeluarkan kata-kata kasar dan menendang pintu kelas,
dan sang guru kemudian diduga menamparnya. Tidak terima perlakuan gurunya, si
anak kemudian menelepon orangtuanya. Satu jam kemudian, orangtua si anak datang
ke sekolah, menemui si guru, dan terjadilah penganiayaan terhadap guru yang
dilakukan orangtua dan anaknya.
Mendekatkan orangtua dengan sekolah
Orangtua siswa mengkriminalkan guru seharusnya tidak
terjadi andaikan hubungan di antara keduanya berjalan baik dan harmonis. Untuk
itu diperlukan langkah-langkah berikut:
Pertama, sekolah harus membangun hubungan baik dengan
orangtua siswa terkait perkembangan anaknya, bisa melalui kelas-kelas
parenting. Orangtua sudah seharusnya terlibat aktif dalam pendidikan anak-anak
mereka karena sekolah adalah rumah kedua seorang anak, bukan tempat penitipan
anak.
Gerakan mengantar anak pada hari pertama sekolah
patut diapresiasi, tapi jangan hanya simbolis belaka. Jika orangtua tidak
pernah hadir menemani belajar anaknya sepulang sekolah, tidak pernah
berkomunikasi dengan wali kelasnya untuk menanyakan perkembangan dan
permasalahan anaknya, dan sebagainya, bagaimana gerakan mengantar anak ke
sekolah akan bermakna bagi proses perkembangannya. Di masa sekarang ini ,
banyak orangtua yang anaknya dititipkan kepada sekolah, asisten rumah tangga,
dan media sosial. Artinya, jangan hanya simbolis yang nihil makna, seolah-olah
satu hari menuntaskan kewajiban orangtua kepada anaknya.
Kedua, setelah anak diantar, orangtua sekalian
berkenalan dengan guru kelas atau wali kelas anaknya, akan sarat makna jika
seminggu setelah itu sekolah menyelenggarakan parent info day, yaitu orangtua
dikumpulkan dan diberi penjelasan tentang program, kebijakan, dan kurikulum
sekolah selama tahun ajaran tersebut.
Dengan demikian, diharapkan orangtua akan lebih terlibat
aktif dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anak mereka sehingga tercipta
sinergi yang baik antara orangtua dan sekolah. Acara bisa terbagi dua:
penjelasan umum program sekolah oleh kepala sekolah di aula, selanjutnya, para
orangtua bersama wali kelas menuju kelas anaknya untuk mendapatkan
penjelasan manajemen kelas dan pola pengasuhan peserta didik.
Ketiga, guru dan orangtua harus memahami UU PA. Selain
itu, guru juga harus paham UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Semua UU itu
harus disosialisasi dan didesiminasi oleh dinas-dinas pendidikan dan
kementerian terkait (baca: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta
Kementerian PA dan Perempuan) serta KPAI.
Upaya-upaya membangun harmoni orangtua dengan pihak
sekolah diharapkan dapat menghilangkan kriminalisasi terhadap guru karena
sejatinya penyelesaian melalui jalur hukum merupakan langkah terakhir setelah
semua dialog dan mediasi menemui jalan buntu. Mengapa kita tidak mengedepankan
dialog di "Meja Coklat" ketimbang berseteru di "Meja
Hijau"? Guru yang terbukti melakukan kesalahan dapat dibina dan dihukum
secara kepegawaian oleh atasannya serta organisasi profesi yang menaunginya
sesuai aturan perundangan yang berlaku di negeri ini.
Banyak isu strategis yang dapat dikembangkan menjadi
terobosan bersama antarlembaga pemerintah dalam menangani persoalan hukum yang
dihadapi oleh para guru dan tenaga kependidikan. Setidaknya ada lembaga-
lembaga yang dapat saling menguatkan, mengevaluasi, dan membangun karakter
dunia Kependidikan kita secara komprehensif. Sebutlah di antaranya Komnas HAM,
KPAI, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Asosiasi Profesi Guru, dan
Kementerian Pendidikan, di mana publik sering membenturkan antara aturan-aturan
hukum yang dianggap tumpang tindih antarlembaga sehingga justru banyak
merugikan berbagai pihak.
Kita semua menginginkan terjadinya sinergitas dalam
penegakan hukum pada dunia pendidikan, terutama yang menyangkut upaya
pelindungan keprofesian guru.
RETNO LISTYARTI
Praktisi Pendidikan dan Sekretaris Jenderal Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI)