Tren kenaikan anggaran pendidikan yang terjadi setiap tahun dianggap belum berdampak signifikan terhadap mutu kompetensi guru. Berdasarkan data dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), capaian rerata nilai guru secara nasional yang diukur melalui Uji Kompetensi Guru (UKG) masih pada angka 66 (dari skala 100).
FSGI menilai angka rerata tersebut menunjukan performa yang sangat memprihatinkan.
Kendati demikian, rendahnya kompetensi tersebut tak sepenuhnya menjadi kesalahan guru. Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriwan Salim menegaskan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki andil besar terhadap peningkatan kompetensi guru.
“Dengan alasan bahwa pemerintah sudah mampu memberikan tunjangan sertifikasi, guru tak bisa serta merta boleh dituding malas dalam meningkatkan kompetensinya. Sebab ada juga kewajiban pemerintah yang belum ditunaikan dalam meningkatkan kompetensi guru,” kata Satriwan di Jakarta, Kamis, 2 Mei 2019.
Ia menyatakan, guru sangat jarang mendapatkan beragam program pelatihan untuk meningkatkan kompetensinya. Dengan demikian, guru kerap keteteran saat pemerintah menerapkan kebijakan baru yang berbasis pada peningkatan kualitas siswa.
Pasalnya, kompetensi guru tak bisa mengimbangi apa yang menjadi target pemerintah tersebut.
Sebagai contoh, ucap dia, dalam kurun 2 tahun terakhir, banyak siswa yang mengeluh saat Kemendikbud menerapkan kebijakan memasukan jenis soal Higher Order Thinking Skills (HOTS) dalam ujian nasional. Para siswa mengeluh karena apa yang diajarkan di sekolah tak seirama dengan apa yang diujikan. HOTS adalah jenis soal yang menuntut siswa berpikir kritis.
Protes yang dilayangkan siswa tersebut seharusnya tidak terjadi jika dalam prores kegiatan belajar mengajar guru sudah mengajarkan keterampilan berpikir kritis terhadap siswa.
“Oleh karena itu FSGI meminta Kemendikbud membuat semacam buku panduan pembelajaran berbasis HOTS bagi para guru untuk dipelajari mandiri jika pemerintah tidak mampu membuat pelatihan,” katanya.
Ia menegaskan, rendahnya kompetensi guru harus diperbaiki dengan model pelatihan guru yang progresif. Yakni, pelatihan yang berbobot, berdampak, bermanfaat, berkelanjutan dan evaluatif.
“Bukan pelatihan yang sesuai dengan keinginan birokrasi seperti yang terjadi selama ini,” ujarnya.
Mendikbud Muhadjir Effendy mengakui, pembenahan kompetensi guru menjadi satu dari sekian banyak program prioritas yang ditetapkan setiap tahun. Menurut dia, kenaikan anggaran pendidikan yang terjadi setiap tahun tidak bisa menjadi satu-satunya tolok ukur untuk menilai kinerja pemerintah pusat dalam hal peningkatan kualitas guru dan tenaga kependidikan.
Pasalnya, dari ratusan triliun anggaran yang dianggarkan pemerintah pusat, sebagian sebesar digelontorkan ke daerah untuk dikelola secara mandiri.
“Betapa pun kami senantiasa responsif dalam memecahkan masalah-masalah tersebut, kompleksitas masalah guru harus menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah. Banyak yang tidak tahu, anggaran pendidikan sekitar 63% dikelola daerah,” kata Muhadjir.