Ramai berita di media online dan sosial yang mewartakan rencana Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani, untuk mengimpor guru dari negara lain.
Organisasi profesi guru, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melalui Satriwan Salim, selaku Wakil Sekretaris Jenderal FSGI, menerima keluhan dan kekhawatiran dari beberapa guru di daerah terkait hal tersebut.
Menurut Satriwan, ada empat hal yang menjadi catatan kritis para guru. Pada dasarnya khawatir dan mempertanyakan urgensi hal tersebut, di antaranya: pertama, FSGI mempertanyakan apa argumentasi yang mendasari keinginan tersebut?
FSGI meminta Menko PMK memaparkan lebih detil bagaimana status guru luar negeri tersebut, apakah sekadar pelatih guru atau menjadi guru tetap di Indonesia? Jika pun maksudnya hanya sebagai pelatih guru, bagaimana standar guru pelatih dari luar negeri tersebut? Dari negara mana? Bagaimana sistem kerjanya di Indonesia (tetap atau kontrak)? Berapa jumlahnya? Berapa lama mereka melatih guru dalam negeri? Bagaimana pengalokasian anggarannya? Berapa gajinya?
Oleh karena itu, FSGI meminta Kemenko PMK menguraikan secara transparan dan objektif jawaban pertanyaan-pertanyaan di atas kepada publik, khususnya kepada para guru agar tidak terjadi kecemasan.
Bahkan FSGI yang mewakili aspirasi guru merasa khawatir hal ini akan berdampak terhadap motivasi guru dalam mengajar di kelas. Penjelasan lebih detil dari Kemenko PMK juga penting agar informasi yang berkembang tidak simpang siur.
Jika alasannya adalah nilai Uji Kompetensi Guru (UKG) secara nasional yang masih rendah, di sekitar angka 67,00 (dari skala 100) pada 2017, Kemenko PMK (juga Kemdikbud dan Kemenag) mempunyai kewajiban memberdayakan dan melatih guru-guru yang ada di dalam negeri.
Sejatinya Indonesia tidak kekurangan jumlah guru secara nasional. Bahkan menurut data, sudah over supply guru.
Dari sekitar 3,2 juta guru di berbagai tingkatan yang mengajar saat ini, sudah seharusnya pemerintah (termasuk Pemda) memberikan pelatihan yang bermutu dan memberikan pemberdayaan bagi guru-guru. Bukan dengan rencana mengimpor guru asing. Jika impor guru ini benar-benar terjadi, akan berbahaya bagi kesempatan dan kelangsungan guru-guru di tanah air untuk mengajar dan mengembangkan diri.
“Nuansa kompetisinya tidak akan baik, sehat, dan berkeadilan. Tidak semestinya guru di tanah air menjadi tamu di rumahnya sendiri. Karena perannya nanti akan digantikan guru impor,” jelasnya, Jumat (10/5/2019).
Dikatakan Satriwan, FSGI menilai, jika impor guru benar-benar terjadi, kebijakan tersebut juga merupakan bentuk keputusasaan pemerintah dalam melatih dan memberdayakan guru. Sepertinya pemerintah tidak percaya terhadap guru di tanah air, faktanya banyak juga yang profesional dan berkualitas.
Padahal baru beberapa bulan lalu di 2019 ini, Kemdikbud mengirim ribuan guru ke luar negeri, untuk belajar dan kuliah singkat. Belajar kepada guru-guru di luar negeri, untuk meningkatkan kompetensi pedagogis.
Semestinya guru-guru Indonesia yang baru pulang belajar dari luar negeri inilah yang melatih guru dan mentransfer ilmunya (transfer of knowledge) kepada guru-guru di dalam negeri. Ini yang mesti dilakukan, bukan malah berniat mengimpor guru.
“Kita memahami persoalan pendidikan di tanah air masih menumpuk. Persoalan masih rendahnya kualitas pendidikan, solusinya bukan dengan mengimpor guru, tetapi dengan memperbaiki sistem kurikulum belajar mengajar. Kemudian melatih guru agar berkompetensi dan berkualitas sebagai tenaga pendidik.
Tingkatkan dan lengkapi standar sarana prasarana sekolah, tingkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi guru (termasuk guru honorer), dan alokasikan anggaran pendidikan di level pemerintah daerah untuk pelatihan guru yang berkualitas.
Itulah semestinya yang dilakukan dan dikoordinasikan oleh Menko PMK di level pusat dan pemerintah daerah. Bukan malah mencari jalan pintas dengan cara mengimpor guru,” ujarnya lagi.
Diharapkan Kemenko PMK tidak gegabah dan tanpa pertimbangan yang matang serta bijak, sehingga merugikan para guru di tanah air.