Anggaran Pendidikan Tinggi, Tapi
Kualitas Masih Rendah
Dalam rangka memperingati Hari
Pendidikan Nasional tahun 2019, ada beberapa catatan kritis konstruktif yang
ingin disampaikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Disampaikan dengan
harapan ada perbaikan yang subtanstif untuk pendidikan berkualitas ke depanya.
Pertama, bagi FSGI tren kenaikan
anggaran pendidikan tiap tahun, bahkan 2019 ini alokasi APBN untuk pendidikan
sebesar 492,5 Triliyun, merupakan angka yang sangat besar. Tapi belum berdampak
terhadap outcome pendidikan yang bersifat janhka panjang, seperti: angka
partisipasi sekolah, tingkat literasi nasional, capaian belajar siswa, tingkat
kompetensi guru, dan akses serta ketersediaan infrastruktur pendidikan. Artinya
dengan anggaran sebesar itu, belum berdampak signifikan terhadap pemenuhan 8
standar nasional pendidikan (SNP).
Kedua, belum berdampaknya
anggaran yang besar itu terhadap pemenuhan standar sarana-prasarana, misalnya
dibuktikan dengan permasalahan seputar pelaksanaan UNBK tiap tahunnya.
Secara umum pelaksanaan UNBK
berjalan lancar. Tapi tiap tahun masalahnya justru selalu terjadi saat
persiapan. Masalah klasik kekurangan komputer masih terjadi dimana-mana,
meskipun diatasi dengan saling pinjam antar sekolah (resourche sharing) namun
cara ini bukanlah penyelesaian. Faktanya ada sekolah yang meminjam komputer dan
saat digunakan di sekolahnya komputer tersebut rusak. Tentu ini menjadi beban
kedua sekolah. Belum lagi kendala listrik dan jaringan internet yang hingga
saat ini, sekolah dibiarkan bertarung sendiri tanpa campur tangan pemerintah.
Menurut pantauan jaringan FSGI di
daerah pada H-1 UNBK, masih terdapat beberapa sekolah yang belum singkron
padahal jadwal singkron yang seharusnya sudah lewat. Keterlambatan singkron
tersebut bukan dikarenakan kendala teknis, tetapi lebih kepada kurangya
perhatian sekolah/madrasah kepada pekerjaan proktor dan teknisinya. Masih ada
proktor yang kurang mendapat apresiasi dari sekolah. Dalam hal honor misalnya, apalagi tahun ini
besaran honor proktor/teknisi UNBK tidak disebut khusus dalam juknis BOS. Sedangkan tahun lalu
saja masih ada yang mendapatkan honor
dibawah ketentuan dana BOS. Kemdikbud tampaknya terlalu ambisius menargetkan
pelaksanaan UNBK 100%, padahal kesiapan sarana/fasilitas komputer, tenaga
proktor yang kurang terampil/minim apresiasi, jaringan listrik dan internet
masih menjadi kendala di daerah-daerah. Mestinya ini dulu yang dibenahi
Kemdikbud.
Ketiga, persoalan peningkatan
kompetensi guru selalu menjadi atensi bagi FSGI. Capaian rata-rata nilai guru
secara nasional, yang diukur melalui Uji Kompetensi Guru (UKG) 2017, masih di
kitaran angka 66 (dari skala 100). Ini adalah performance yang sangat
memprihatinkan. Guru tak bisa serta-merta dituding malas dalam meningkatkan
kompetensinya, dengan alasan uang tunjangan sertifikasi yang diperolehnya.
Sebab ada juga kewajiban pemerintah yang belum ditunaikan dalam meningkatkan
kompetensi guru. Selain kompetensi rendah, guru juga minim perlindungan dalam
melaksanakan tugas profesi. Terbukti selama 2018-2019 banyak kasus kekerasan
dan tindakan insinuatif terhadap profesi guru oleh oknum siswa atau orang tua
di sekolah. Padahal pemerintah sudah membuat Permendikbud No. 10 Tahun 2017
tentang Perlindungan bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Tapi regulasi ini
hanya jadi macan kertas. Sangat minim sosialisasi apalagi implementasi. Jadi
guru masih merasa tidak aman dalam melaksanakan tugas profesinya.
Keempat FSGI mendesak pemerintah
pusat dan daerah untuk menyelenggarakan dan
menguatkan program Sekolah Ramah Anak (SRA). Berdasarkan data dari KPAI
(2019) diketahui bahwa dari 4.629 sekolah negeri dan swasta di Jakarta, hanya
315 sekolah (6,8 persen) yang masuk kategori ramah anak. Artinya, sekitar 93,2
persen sekolah lainnya, di berbagai jenjang, belum ramah anak. Dan angka ini
berkorelasi dengan tingkat kekerasan terhadap anak, khususnya dalam dunia
pendidikan. Jika kondisi ini tidak segera diperbaiki, maka sekolah yang
semestinya menjadi tempat aman bagi tumbuh kembang anak, dikhawatirkan justru
berdampak negatif terhadap perkembangan psikologi anak.
Kelima mulai UNBK tahun 2018
sampai 2019 ini, Kemdikbud mendisain soal ujian HOTS (Higher Order Thinking
Skills) untuk siswa. Soal HOTS masih menjadi momok menakutkan bagi siswa.
Sedari tahun lalu, FSGI melihat belum ada perbaikan yang signifikan dalam
pelatihan-pelatihan bagi guru, khususnya dalam menyiapkan pembelajaran berbasis
HOTS di kelas. HOTS itu semestinya bukan hanya ada pada ujian saja, tapi justru
lebih penting lagi, HOTS itu tercipta dalam suasana pembelajaran di sekolah.
Guru harus mampu mendisain pembelajaran yang berorientasi pada keterampilan
berpikir kritis, menalar, dan pemecahan masalah. Maka para guru harus
mendapatkan pelatihan-pelatihan yang berkualitas dari negara. Ini yang dirasakan
para guru masih sangat minim.
Keenam, rencana pemerintah dalam
penerapan PPDB dengan Sistem Zonasi di Tahun ajaran 2019/2020 nanti, harus
diimbagi dengan informasi dan sosialisasi yang utuh menyeluruh kepada orang tua
dan sekolah. FSGI menerima laporan banyaknya penyimpangan pelaksanaan Zonasi
PPDB di 2018 lalu. Tujuan Zonasi PPDB memang sangat mulia; menciptakan
pemerataan dan keadilan pendidikan. Tapi harus ditunjang dengan pendataan calon
peserta didik yang baik, koordinasi pusat dan daerah yang utuh, ketersediaan
sekolah bilamana dalam satu wilayah zonasi memiliki kepadatan penduduk tinggi,
sedangkan jumlah sekolah (rombongan belajar) tidak mencukupi. Waktu yang
tinggal sekitar 1-2 bulan ini harus disiapkan pemerintah untuk menyempurnakan
kekurangan Zonasi PPDB 2018 lalu, agar sistem Zonasi PPDB ini tidak berdampak
sebaliknya; terjadinya ketidakadilan dalam pendidikan.
Berdasarkan enam (6) catatan FSGI
di atas, maka rekomendasi yang kami berikan adalah:
1. Dengan anggaran pendidikan
yang luar biasa besar itu, kami mendesak pemerintah untuk fokus terhadap
pemenuhan 8 standar nasional pendidikan.
2. Pelaksanaan UNBK akan baik dan
bermutu jika fasilitas penunjang UNBK dilengkapi terlebih dahulu. FSGI meminta
pemerintah untuk mengadakan komputer di tiap sekolah, jaringan internet, dan
pemenuhan atas kendalam-kendala teknis UNBK seperti yang kami ungkapkan di atas
tadi.
3. Pelatihan bagi guru khususnya
terkait pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian keterampilan berpikir
kritis (HOTS) adalah sebuah keharusan. FSGI meminta Kemdikbud membuat semacam
Buku Panduan Pembelajaran Berbasis HOTS bagi para guru, yang terdistribusikan
secara nasional (bisa diakses online) untuk dipelajari mandiri jika pemerintah
tidak mampu membuat pelatihan guru yang mengakomodir semua guru.
4. FSGI mendesak pemerintah
daerah di Indonesia khususnya, menyelenggarakan Program Sekolah Ramah Anak
(SRA), termasuk melatih pihak sekolah agar bisa menciptakan suasana sekolah
yang aman bagi tumbuh kembang anak.
5. Rendahnya kompetensi guru
harus diperbaiki dengan model pelatihan guru yang progresif, tidak konvensional
seperti dulu. FSGI merekomendasikan pelatihan guru dengan syarat Pelatihan 4 B
dan 1 E, yaitu; Berbobot (Pelatihan tersebut benar-benar berkualitas/tidak
harus massal), Berdampak (Pelatihan ini mestinya berakibat pada peningkatan
kualitas pembelajaran di kelas), Bermakna/Bermanfaat (Pelatihan ini sesuai
dengan kebutuhan guru di masing-masing daerah/sekolah yang berbeda satu sama
lain. Bukan sesuai dengan keinginan birokrasi), dan Berkelanjutan (Pelatihan
bagi guru diselenggarakan bisa secara berjenjang atau ada keberlanjutan. Alias
tidak sekali selesai). Evaluatif (Pelatihan guru harus dievaluasi untuk
perbaikan mana kompetensi yang belum terpenuhi dst).
6. Sistem PPDB Zonasi tahun
ajaran 2019/2020 nanti haruslah lebih objektif, berkeadilan, validitas
pendataan yang baik, dan jujur. Waktu 2 bulan harus dipakai oleh pusat dan
daerah untuk mendata calon peserta didik di satu wilayah zonasi, termasuk
melengkapi jumlah kelas jika populasi penduduknya padat.
Demikian catatan FSGI dalam
Hardiknas 2019 ini. Semoga pendidikan nasional kita makin berkualitas.
Jakarta, 2 Mei 2019
Satriwan Salim Wasekjen FSGI
(082111050951)