Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan pembagian
kuota umum dan belajar karena ingin memastikan kuota tersebut
benar-benar digunakan untuk pembelajaran. Untuk itu, Federasi Serikat
Guru Indonesia (FSGI) meminta agar aplikasi-aplikasi yang dikembangkan
sekolah dan pemerintah daerah (pemda) agar dimasukkan juga ke dalam http://kuota-belajar.kemdikbud.go.id/ .
“Kami meminta aplikasi yang dibangun dan dikembangkan oleh sekolah
dan pemda dimasukkan ke dalam kuota belajar agar anggaran yang sudah
dialokasikan oleh sekolah dan pemda tidak sia-sia. Apalagi kami melihat
aplikasi milik kampus sejumlah 401 aplikasi harusnya dapat difasilitasi
pada kuota belajar. Kenapa aplikasi sekolah tidak dimasukkan?” tanya
Wasekjen FSGI, Fahriza Marta Tanjung pada dialog daring tentang Survei
Aplikasi Kuota Belajar, Minggu (4/10/2020).
Sebelumnya Kemdikbud telah mengatakan bahwa jumlah aplikasi belajar
fleksibel dan dapat ditambah. Namun FSGI mendorong hal itu harus segera
ditunjukkan dengan aksi nyata. Perlu adanya mekanisme dan prosedur yang
jelas mengenai siapa yang melaporkan kepada siapa, apa yang dilaporkan,
bagaimana cara melaporkan, dan kapan dilaporkan.
Menurut Fahriza, jika dalam waktu dekat tidak segera memasukkan
aplikasi rujukan sekolah dan pemda, maka sebaiknya Kemdikbud memperbesar
kuota internet untuk kuota umum. Dengan demikian, sekolah dan siswa
dapat menjalankan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan menggunakan
subsidi bantuan kuota yang telah dijalankan saat ini.
Ia menambahkan, pihaknya menemukan banyak aplikasi rujukan dalam
kuota belajar yang tidak dipergunakan selama pembelajaran jarak jauh
(PJJ) daring.
“FSGI melakukan survei berkenaan dengan aplikasi yang ada pada kuota
belajar maupun di luar kuota dari sisi popularitas maupun penggunaannya.
Ternyata aplikasi di luar rujukan kuota belajar lebih banyak yang
dikenal dan digunakan oleh guru dan siswa. Lebih populernya aplikasi di
luar kuota belajar ini menjadi pertanyaan bagi kami bagaimana sebenarnya
proses masuknya aplikasi-aplikasi tersebut dalam kuota belajar,” kata
Fahriza
Fahriza menuturkan, tingkat penggunaan aplikasi rekomendasi Kemdikbud
masih rendah, dengan rata-rata di bawah 50%. Ini menunjukkan penggunaan
aplikasi bukanlah menjadi perangkat yang utama dalam pembelajaran
daring.
Selain itu, rendahnya tingkat pengenalan dan penggunaan berpotensi
mengakibatkan rendahnya serapan jumlah kuota internet yang sudah
dialokasikan dalam kuota belajar. Pasalnya, secara umum, aplikasi yang
sering digunakan dalam pembelajaran daring selama ini adalah aplikasi
berbasis pesan, aplikasi penyimpanan video, aplikasi ruang kelas daring,
dan video conference.
Berdasarkan hasil survei dilakukan FSGI pada 2-3 Oktober 2020,
beberapa aplikasi rujukan Kemdikbud dikatakan kurang populer. Salah
satunya adalah aplikasi untuk pembelajaran agama Islam Aminin.
Fahriza menyebutkan, untuk aplikasi agama Islam ini terjaring 411
responden dengan jumlah guru yang terlibat sebanyak 116 orang dan siswa
sebanyak 295 orang. Adapun fokus dalam survei tersebut adalah moda
pembelajaran yang dilakukan baik guru dan siswa untuk mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam.
“Dari 116 guru ini 86,2% tidak mengenal aplikasi Aminin yang menjadi
rujukan Kemdikbud untuk memanfaatkan kuota belajar. Bahkan, para siswa
lebih besar lagi. Dari 295 siswa, 91,2 % tidak mengenal aplikasi
Aminin,” ujarnya.
Fahriza menuturkan, dari 13,8% atau 16 orang yang mengenal aplikasi
Aminin, ternyata ada lima orang yang tidak pernah menggunakan aplikasi
tersebut. Sedangkan lainnya dominan jarang menggunakan.
Sedangkan dari siswa yang mengenal aplikasi ini, 69,2% menyatakan
kadang-kadang menggunakan aplikasi Aminin sebagai rujukan pembelajaran.
“Melihat dari survei ini aplikasi Aminin relatif tidak banyak digunakan,”kata Fahriza.
Fahriza menuturkan, survei tersebut juga menyisipkan pertanyaan
terkait aplikasi mata pelajaran Agama Islam yang sering digunakan dan
dikenal selama ini. Dari hasil survei, 41,4% guru dan 51,4 siswa
menjawab lebih sering menggunakan aplikasi Muslim Pro.