Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti menyoroti metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi Corona. Retno menilai selama penerapan PJJ di berbagai daerah di RI terjadi sejumlah kendala.
"FSGI
menyerukan untuk Kemdikbud ke pemerintah itu melakukan evaluasi
menyeluruh terhadap pembelajaran jarak jauh. Kalau yang tadi dijelaskan
oleh Pak Reza itu kan betul-betul pelaksanaannya, implementasi dari
kebijakan Kemendikbud. Nah kami kemudian juga mencoba melihat seperti
apa implementasinya sehingga kemudian kami meminta pemerintah lakukan
evaluasi menyeluruh terhadap PJJ," kata Retno dalam konferensi Pers FSGI
secara virtual, Minggu (4/10/2020).
Hasil pemantauan FSGI, PJJ
pada fase kedua yang sekarang diterapkan ini belum mengalami perubahan
dengan fase pertama. Dia menyebut ada beban kerja guru dan murid pada
posisi yang sama.
Retno
menyebut ada tiga penerapan PJJ selama pandemi. Pertama PJJ secara
daring, lalu gabungan antara PJJ dan Luring (luar jaringan), lalu ketiga
melakukan pembelajaran tatap muka.
"Kedua adalah dalam
perkembangannya, memang terjadi buka-tutup sekolah di sejumlah daerah
termasuk daerah-daerah di mana teman-teman FSGI mengajar di
wilayah-wilayah itu di mana terjadi perubahan zona. Jadi buka tutup
sangat ditentukan oleh zona yang semula hijau dari hitungan hari bisa
tiba-tiba berubah oranye, berubah merah," tuturnya.
"Kemudian yang
awalnya kuning bisa, kemudian dalam waktu singkat berubah menjadi
merah. Nah dampak dari peningkatan kasus pada satu wilayah mengakibatkan
juga sekolah itu jadi dibuka dan ditutup gitu ya. Kabupaten Tegal
misalnya sempat menutup 50 sekolah kemudian membuka kembali tetapi sejak
Senin yang lalu Kabupaten Tegal memutus semuanya PJJ. Jadi bisa dalam
satu tempat dalam sebulan berganti-ganti model pelaksanaan dari
pembelajarannya," imbuh dia.
Retno
juga mengungkapkan sekolah di daerah yang kebingungan soal penerapan
kurikulum darurat. Retno menyebut sejumlah sekolah akhirnya memilih
untuk tidak menerapkan kurikulum darurat.
"Sekolah tidak memiliki
keberanian melaksanakan kebijakan memilih kurikulum yang disederhanakan,
kurikulum 2013 yang disederhanakan. Jadi di level daerah ternyata
penggunaan ini lantaran sekolah juga bingung dan sekolah tidak berani
karena merasa tidak ada petunjuk dari dinas pendidikan. Dinas Pendidikan
sendiri pun menganggap tidak perlu memberi petunjuk mungkin, jadi tidak
pernah ada koordinasi, sosialisasi apalagi diskriminasi apa yang
diterima oleh kepala-kepala sekolah atau para guru," sebut Retno.
Untuk
itu dia mendorong agar pemerintah setempat dalam hal ini Dinas
Pendidikan maupun Kemdikbud dapat memberikan sosialisasi terkait
penerapan kurikulum darurat.
"Jadi misalnya, kalau seorang kepala
dinas kemudian rapat dengan kepala-kepala SMA dan SMK lalu menyatakan
PJJ harus begini, orang tua harus begini, anaknya disiapkan begini
sementara guru harus begini, misalnya ada panduan yang membantu guru ada
kisi-kisi seperti bagaimana sih ini melakukan panduan orang tua dan
lain-lain, mungkin setelah disosialisasi harus dilihat ketika itu bisa
nggak dipraktikkan oleh orang tua, dipraktikkan guru kalau kemudian bisa
tapi ada kendala, maka kendalanya apa? Lalu diselesaikan. Nah ini yang
harusnya dilakukan sehingga gurunya tidak jenuh muridnya tidak stres
gitu ya," ujarnya.
Sementara itu, kendala ini juga disampaikan
Kepala Sekolah SMA 3 Seluma Kabupaten Bengkulu, Niham. Ia mengungkapkan
bahwa kabupatennya saat ini menerapkan zona risiko COVID-19 di tingkat
kecamatan. Hal ini, sebutnya, berpengaruh terhadap buka-tutupnya
sekolah.
"Pertama yang kami rasakan di daerah mengenai pelaksanaan
PJJ maupun luring ini buka tutup sekolahnya. Yang jelas, pelaksanaan
PJJ dan luring kadang-kadang campuran. Kenapa? Karena terjadi perubahan
yang sangat cepat, yang kemarin zonanya hijau terus kuning, terus merah,
terus kembali hijau sehingga menyebabkan buka tutup. Nah, ini
menyebabkan dengan terpaksa kami menggunakan campuran, daring setengah
luring juga setengah," kata Nizam.
Tak
hanya itu, Nizam pun mengakui bahwa guru-guru di sekolahnya kesulitan
menerapkan kurikulum darurat yang diterbitkan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Terutama, berkaitan dengan opsi
penyederhanaan dari kurikulum 2013.
"Kemudian, mengenai kurikulum
yang kami gunakan sampai saat ini hampir seluruh sekolah masih
menggunakan kurikulum K13. Kenapa demikian? Karena di daerah itu untuk
menggunakan kurikulum yang disempurnakan itu memang agak sulit karena
belum ada petunjuk bahkan teknisnya belum sampai kepada di lapangan,"
ungkap Nizam.
"Nah, yang jadi masalah sekarang di lapangan, bahkan
guru-guru juga banyak kesulitan menghadap kepala sekolah, bagaimana pak
kalau kita sederhanakan, yang mana yang kita kurangi KB ini, nah itu
nggak jelas sekarang ini sehingga yang nggak tahu mana yang dikurangi,
mana harus diprioritaskan sehingga masih menggunakan K13," lanjutnya.
Diberitakan
sebelumnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem
Makarim menerbitkan Kurikulum Darurat di tengah pandemi virus Corona
(COVID-19). Kurikulum darurat itu diterbitkan lewat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 719/P/2020 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi
Khusus. Kepmen itu diteken Nadiem pada 4 Agustus 2020.
Dalam
keterangan di situs Kemdikbud, Nadiem memberikan 3 opsi terkait
kurikulum darurat saat pandemi Corona ini. Ketiga opsi tersebut yakni:
1.
Tetap mengacu pada Kurikulum Nasional;Nadiem menyatakan kurikulum
darurat ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas bagi satuan
pendidikan untuk menentukan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
pembelajaran peserta didik. Sekolah tidak harus menerapkan kurikulum
darurat ini melainkan punya 3 opsi, yaitu:
2. Menggunakan kurikulum darurat; dan
3. Melakukan penyederhanaan kurikulum secara mandiri.
"Semua
jenjang pendidikan pada kondisi khusus dapat memilih dari tiga opsi
kurikulum tersebut," kata Nadiem dalam keterangan tertulis di situs
Kemdikbud.