Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) meminta pemerintah untuk tidak menyangkal dan saling lempar tanggung jawab terkait masalah pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini menyangkut dua orang siswa yang bunuh diri diduga akibat beban PJJ.
Pada kasus bunuh diri, di Tarakan, misalnya, Kemendikbud terkesan lempar tanggung jawab dengan menyebut siswa bersekolah di MTs. Begitu pun Kemenag disebut diam saja ketika kasusnya terjadi pada siswa yang bersekolah di bawah Kemendikbud.
"Berpikir bahwa itu urusannya sekolah Kemendikbud atau Kemenag, saya rasa tidaklah pas berbicara begitu. Sementara mereka membuat SKB yang seharusnya bersama-sama mengatasi problem ini," kata Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, dalam telekonferensi, Minggu (2/11).
Menurut Retno, penyangkalan pun dilakukan pihak dinas pendidikan pada kasus siswa di Gowa bunuh diri. Mereka menyebut motif bunuh diri siswa karena masalah asmara sehingga tidak ada kaitannya dengan persoalan PJJ yang dihadapinya.
Padahal, saat itu, kepolisian menemukan bukti berupa keluhan korban terkait PJJ yang disampaikan kepada dua orang temannya. Retno mengakui, motif bunuh diri memang tidak tunggal, tetapi bukti itu tak seharusnya diabaikan pihak dinas pendidikan.
Kemudian pada bunuh diri di Tarakan, Retno mengatakan, pihak sekolah menyangkal dengan menyebut siswa itu berkarakter lemah dan suka main gim sehingga tidak mengerjakan tugasnya hingga akhirnya tugas-tugas itu bertumpuk.
"Juga menyangkal bahwa anak itu korban perceraian. Jadi sibuk mempermasalahkan pribadi anak. Ini anak sudah meninggal, sudah jadi korban, tetapi bukan jadi refleksi malah menyangkal. Itu yang kami sangat sayangkan," ucap Retno.
Bahkan, kata dia, seorang kepala dinas pendidikan membandingkan jumlah dua siswa yang bunuh diri dengan jutaan siswa yang menjalani PJJ. Selain dinilai meremehkan nyawa dua siswa, pernyataan ini juga seolah siswa lainnya tak mengalami masalah PJJ.
Retno mengatakan, Kemendikbud, Kemenag, maupun dinas pendidikan selama ini tidak mencari tahu cara pembelajaran maupun tugas-tugas yang diberikan guru. Mereka dianggap hanya mendengar pendapat dari pihak sekolah atau guru, bukan dari siswa.
"Kita perlu lihat jutaan anak itu belum tentu tidak punya masalah psikologi dan psikososial. Problemnya ada anak yang mampu mengatasi dan tidak. Ada anak yang nekat bunuh diri itu lantaran dia merasa tidak ada jalan," ungkap Retno.
Dia berpendapat PJJ fase kedua ini dirasa lebih berat bagi siswa. Pertama, seluruh pembelajaran dilakukan dengan metode PJJ sejak tahun ajaran baru. Berbeda dengan fase pertama di mana siswa sempat melalui pembelajaran tatap muka sebelum pandemi.
Kemudian PJJ fase kedua, karena tahun ajaran baru, siswa belum mengenal dekat wali kelas, guru mata pelajaran, maupun teman-teman sekelasnya. Kondisi ini menyulitkan siswa untuk berkomunikasi, sebab malu atau takut ketika ingin bertanya atau meminta bantuan.
"Fase kedua ini kan sudah akumulasi dari berbagai problem di rumah, anak-anak ini punya masalah misalnya dan lain-lain. Artinya, memang motifnya tidak tunggal, tetapi PJJ itu bisa menjadi indikasi kuat anak ini kemudian putus asa," ujarnya.
Retno mengatakan Kemenkes juga seharusnya ikut menyelesaikan masalah ini, sebab ada Kemenkes dalam SKB 4 Menteri tentang pembelajaran pada era pandemi covid-19. Apalagi Kemenkes punya misi mewujudkan masyarakat yang peduli pada kesehatan mental.
"Seharusnya Kemenkes juga mengevaluasi, segera duduk bersama dengan Kemendikbud dan Kemenag. Kalau negara tidak hadir, maka anak-anak akan terus jadi korban. Memang mau berapa korban lagi sampai yakin bahwa PJJ bermasalah. Kenapa harus menyangkal terus," imbuhnya.
Wakil Sekjen FSGI, Fahriza Tanjung menyebut, nyawa seorang siswa yang meninggal seharusnya dipandang sama bernilainya dengan nyawa seorang presiden. Sikap pemerintah yang dianggap kurang serius menanggapi kasus dua siswa bunuh diri sangat disayangkan.
"Satu nyawa siswa melayang itu sama dengan satu nyawa presiden. Jadi penyangkalan-penyangkalan yang dilakukan saya kira ini menunjukkan betapa bobroknya Kemendikbud dan Kemenag dalam melihat persoalan anak," ucap Fahriza