Setelah 68 tahun merdeka ternyata para guru Indonesia di berbagai daerah masih menghadapi penindasan dan perlakuan sewenang-wenang dari aparat birokrasi di negeri ini. Kebebasan berorganisasi pun masih di belenggu. Berani protes, demo atau memutuskan pindah organisasi profesi guru maka intimidasi dan sanksi akan segera menghadang.
Situasi ini kemudian menciptakan para guru yang bermental pegawai, yang penakut, yang patuh pada yang bayar dan yang mengabdi pada atasan, meski atasannya salah sekalipun.
Para guru sebagian besar memilih takluk dengan keadaan, memilih tetap berada pada zona nyaman dan aman. Kemudian kesadaran “palsu” di yakini sebagai kebenaran, guru di juluki “pahlawan tanpa tanda jasa, kelompok terdidik, kelompok kelas menengah, dan guru adalah pekerjaan mulia”. Kesadaran palsu ini membuat guru selalu bersyukur meski ditindas dan diberi honor rendah, tidak melawan, tidak aksi demo apalagi mogok mengajar karena menganggap diri sebagai kelompok orang mulia.
Sikap dan kesadaran para guru yang seperti ini menurut penyair Wiji Thukul akan memperpanjang barisan perbudakan….”Ketika kita menghamba pada ketakutan maka kita memperpanjang barisan perbudakan”. Sebagai guru bangsa yang terdidik semestinya para guru menjadi inspirator bagi anak didiknya untuk berani melawan segala bentuk penindasan, berani melawan ketidakadilan dan berani memiliki prinsip yang berpihak pada kerakyatan. Jika para guru bermental berani maka dia pun akan mampu membakar murid-muridnya untuk bermental berani dan merdeka (membebaskan). Negeri ini membutuhkan generasi penerus yang tidak hanya cerdas tetapi juga berani mengubah keadaan.
Hanya para guru yang bermental berani yang dapat melahirkan generasi berani…..jangan memilih bermental penakut karena akhirnya kita hanya akan memperpanjang barisan budak di Republik ini dan negeri ini akan semakin terpuruk. Hancurnya pendidikan di negeri ini salah satunya dikarenakan para guru terlalu “banyak diam”….salam perubahan, MERDEKA!!!