Semua ini bermula dari pertemuan dua belas organisasi guru daerah[1], di Hotel Bumi Wiyata Depok, 21-23 Januari 2011. Para guru itu bersepakat untuk berhimpun dalam sebuah organisasi yang diberi nama Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI).
Pertemuan itu sendiri tidak lepas dari peran Indonesian Corruption Watch (ICW), lembaga anti korupsi yang bermarkas di Kalibata Jakarta, waktu itu koordinator ICW masih dipegang oleh Danang Widoyoko, dengan Ade Irawan sebagai Koordinator Monitoring Kebijakan Publik. Selain bekerja di ICW, Ade juga dikenal sebagai aktivis Koalisi Pendidikan.
Koalisi Pendidikan juga terlibat, membidani kelahiran FSGI, paling tidak pada saat pertemuan dua belas organisasi guru tersebut, sejumlah aktivis Koaliasi Pendidikan selain Ade, ikut hadir dan memberikan pandangan-pandangan mereka terhadap dunia pendidikan, mereka diantaranya adalah Lodewijk F. Paat bersama saudaranya Jimmy Paat, Bambang Wisudo dari Sekolah Tanpa Batas, dan Arif Faisal dari Lembaga Bantuan Hukum Sahdar Medan.
Pertemuan selama tiga hari itu, juga mengundang sejumlah narasumber, diantaranya Fasli Jalal yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementrian Pendidikan, Teten Masduki aktivis Anti Korupsi yang juga Mantan Koordinator ICW, Pakar pendidikan Winarno Surachmad, waktu itu ketika Winarno menjadi narasumber saya bertindak sebagai moderator.
Saya masih mengingat-ngingat pernyataan Winarno, “Presiden boleh mati, mentri boleh mati, tapi guru tidak boleh mati karena persoalan kebangsaan belum selesai,” katanya.[2] Guru memang tidak boleh mati. Harus terus hidup untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pertemuan itu, sendiri dibuka dengan cerita latar belakang para guru mendirikan organisasi lokal. Beberapa organisasi lokal itu, diantaranya; Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), didirikan pada tanggal 16 Maret 2010. Terbentuknya forum guru ini tidak terlepas dari kebijakan diskriminatif pemerintah provinsi DKI Jakarta dalam hal tunjangan Kinerja Daerah (TKD), guru yang besarnya dibedakan dengan PNS DKI Jakarta yang bukan guru. Para guru yang tergabung dalam FMGJ kemudian menggandeng LBH Jakarta, ICW dan Koalisi pendidikan dalam upaya membantu advokasi perjuangannya mengkritisi SK Gubenur No 215 tahun 2009 jo. No 41 tahun 2010 tentang TKD.[3]
Ternyata, perjuangan mendirikan FMGJ tidak lepas dari tekanan dan ancaman sejumlah pihak yang tidak senang, para penggiat FMGJ mendapat teror, lewat pesan singkat untuk tidak ikut-ikutan dengan FMGJ, sampai pemanggilan ke kantor Dinas Pendidikan, dimana mereka diancam tidak akan direkomendasikan untuk kenaikan pangkat, dan malah diancam ‘dibuang’ ke Kepulauan Seribu. Para guru yang ikut-ikutan kegiatan FMGJ pun diminta untuk memulihkan nama baik mereka.
Sementara itu, Forum Diskusi Guru Pandeglang (FDGP), organisasi lokal yang bergerak di Pandeglang, setelah mendeklarasikan perkumpulan untuk membuka ruang bagi guru sebagai tempat berdiskusi dan belajar bersama pada tahun 2009 itu, harus mendapati kenyataan dicurigai sebagai organisasi yang akan merongrong organisasi guru yang sudah ada, mereka pun diminta untuk melakukan pertobatan, dan membubarkan FDGP.
Tahun-tahun penuh ancaman sepertinya sudah mulai dilewati oleh Serikat Guru Tangerang (SGT), seperti dinyatakan oleh Wildan Chandra, ancaman dan panggilan sudah tidak lagi mereka terima, namun persoalannya, semakin tahun semakin tidak banyak guru yang mau terlibat dalam organisasi SGT. Tahun 2007, SGT sempat mencatat jumlah anggota hampir mencampai seribuan, diskusi-diskusi yang digelar pun bisa disesaki oleh para guru, sementara pada tahun 2011, hanya puluhan orang saja yang mau terlibat.
Persoalan ancaman, minimnya anggota, sepertinya masih menjadi persoalan serius dua belas organisasi yang mendeklarasikan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) waktu itu. Padahal seperti dinyatakan oleh Loody Faat, untuk membangun sebuah organisasi guru, selain kualitas guru yang tergabung, juga harus diperhitungkan kuantitas, atau jumlah guru.
“Kualitas dan kuantitas, tidak bisa dilepaskan,” katanya.
Setelah perdebatan panjang, menerima kenyataan bahwa organisasi yang mereka dirikan, masih seumuran bayi dengan setumpuk persoalan baik dari dalam maupun luar, akhirnya para guru yang tergabung dalam organisasi daerah itu bersepakat untuk mendirikan organisasi tingkat nasional, yang kemudian diberi nama FSGI. Pilihan kata Federasi lebih bersifat keinginan untuk menunjukan bahwa organisasi yang didirikan adalah gabungan dari beberapa organisasi lokal yang bekerja sama, namun masing-masing organisasi lokal mempunyai otonomi sendiri.
Sementara itu, keanggotaan Federasi bersifat serikat, artinya bukan individu atau perorangan, misalnya sebuah daerah bisa mengajukan untuk menjadi bagian dari FSGI, namun seseorang tidak bisa langsung mengajukan untuk menjadi anggota FSGI, orang perorang yang ingin masuk harus, mempunyai organisasi tingkat lokal terlebih dahulu.
23 Januari 2011, pagi menjelang siang. Setelah pertemuan di Hotel dianggap selesai, mereka pun bersiap-siap, mengemas barang bawaan, bersama-sama meluncur ke kantor ICW yang terletak di Kalibata, menyelenggarakan konprensi pers, menyampaikan pada media, bahwa sejak itu berdiri sebuah organisasi guru, yang diberi nama FSGI.
Tulisan lanjutan untuk buku “Guru Menolak Diam”
Konprensi Pers di ICW
[1] Organisai lokal yang menghadiri pertemuan di Depok, adalah Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ), Serikat Guru Indonesia Medan (SeGI Medan), Serikat Guru Tangerang (SGT), Serikat Guru Kota Tangerang (SIGAT), Serikat Guru Serang (SGS), Serikat Guru Lebak (SeGeL), Forum Diskusi Guru Pandeglang (FDGP), dan Aliansi Perjuangan Guru Purwakarta (APG).
[2] Pernyataan itu, ditulis juga oleh Deny Avicena Permana, di dinding facebooknya.
[3] Kompas.com, Dibutuhkan Organisasi Guru yang Kuat! Senin, 13 Desember 2010.